Seiring berkembangnya zaman, permintaan akan gas alam ternyata semakin berkembang pula. Salah satu pemakaian gas alam yang cukup banyak adalah di Indonesia. Adanya alih energi dari minyak tanah ke gas, tentunya membuat mergin permintaan gas bumi semakin banyak pula. Disisi lain, harga minyak dunia dalam hal ini gas bumi, setiap tahunnya semakin meningkat. Tentunya adanya kenaikan ini akan menambah beban yang lebih berat lagi bagi masyarakat kita. Adanya permintaan yang berlebih tentunya berpengaruh pula akan ketersediaannya di alam. Semakin lama semakin menipis, sehingga diperlukan suatu terobosan mengenai pencarian suatu energi alternatif yang terbaharukan sebagai pengganti bahan bakar fosil tersebut (dalam hal ini gas bumi).
Untuk mewujudkan misi Taman Safari Indonesia II Prigen (TSI II) untuk mengembangkan kegiatan konservasi melalui Riset, TSI II mencoba untuk membuat suatu terobosan mengenai pemanfaatan kotoran satwa sebagai energi alternatif terbaharukan. Dari berbagai satwa yang ada di Taman Safari Indonesia II, kita pilih sapi bali sebagai bahan yang akan jadikan riset. Hal ini dikarenakan Taman Safari Indonesia II dikenal memiliki sebuah “Research Center” untuk pemuliabiakan sapi bali dan hingga saat ini pemanfaatan kotoran sapi bali ini hanya sebatas pupuk kompos. Sehingga kita berfikiran untuk mengembangkannya menjadi “biogas” yang kita kombinasikan dengan urine gajah sebagai bahan dasarnya.
Pembuatan biogas di TSI II berpotensi baik karena selain sebagai lembaga konservasi ex-situ, TSI II berperan penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana cara mengolah limbah dengan baik dan dapat diubah menjadi sumber energi alternatif, yaitu biogas. Di Indonesia, kotoran hewan yang biasa digunakan untuk biogas adalah kotoran sapi. Biogas umumnya digunakan untuk memasak sebagai pengganti dari LPG, minyak tanah, kayu bakar dan lampu penerangan. Sedangkan sisa pembuangan biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.
TSI II memiliki 16 ekor sapi bali yang diletakkan di lokasi pemuliabiakan sapi bali dan banteng, dimana 11 ekor diantaranya adalah sapi dewasa. Satu ekor sapi bali dewasa dapat mengeluarkan feses (kotoran) kurang lebih 7 kg setiap harinya, sehingga jumlah feses dalam satu hari untuk sapi bali dewasa saja mencapai 77 kg. Hal tersebut berarti, dalam satu bulan jumlah feses yang diproduksi oleh sapi bali dewasa mencapai 2.310 kg. Melihat potensi tersebut, TSI II berusaha membuat reaktor biogas yang berfungsi untuk bahan bakar alternatif pengganti LPG yang dimanfaatkan untuk dapur ransum satwa.
Proses Pembuatan Reaktor
Pembuatan reaktor biogas dimulai dengan menggambar desain lokasi dan menentukan tempat yang akan dibangun reaktor biogas. Setelah diperoleh lokasi yang tepat kemudian diberi tanda (patok) di tanah, barulah proses pembangunan dimulai sebagai berikut :
1. Penggalian Tanah
Penggalian tanah dilakukan sesuai ukuran yang diinginkan, di TSI II membuat reaktor biogas berukuran 10 m³. Penggalian tanah melingkar dilakukan dengan diameter 3 m dan kedalaman 2,5 m.
2. Pemasangan Pondasi dan Corpada Dasar Konstruksi
Pemasangan pondasi pada lantai dasar dilakukan dengan menggunakan besi batang dan dicor dengan ukuran 20 cm.
3. Pemasangan Bata dan Memplester Melingkar pada Dinding Reaktor
Pemasangan bata pada dinding reactor dilakukan melingkar dengan ketinggian 95 cm. Di tengah diameter lubang diletakkan pipa berukuran 0,5 inci tepat pada posisi tegak, selanjutnya memplester dinding reactor dengan ukuran 2-5 cm.
4. Pengurukan Tanah
Pengurukan tanah dilakukan ketika dinding reactor sudah diplester dan kering. Pengurukan dibentuk menyerupai kubah untuk memudahkan proses pengecoran.
5. Pembuatan Menhol
Menhol ini difungsikan sebagai jalan keluar kotoran dari digester (Tempat mengolah kotoran melalui proses difermentasi oleh bakteri untuk menghasilkan gas) menuju outlet.
6. Proses Pengecoran Kubah
Proses pengecoran kubah dilakukan dengan memasang besi terlebih dahulu sebagai penguat, dimulai dari atas menhol dengan pengecoran balok setebal 25 cm. kemudian pengecoran seluruh kubah dengan ketebalan ± 15-20 cm.
7. Pembuatan Turret (Menara kecil)
Pembuatan menara kecil dilakukan apabila kubah sudah benar-benar kering dan dilapisi semen, pembuatan ini bertujuan untuk melapisi pipa gas utama yang masuk ke dalam kubah agar tidak terjadi kebocoran.Turret dibentuk persegi dengan ukuran tinggi 40 cm dan lebar 30 cm.
8. Pembuatan Outlet (Ruang pemisah)
Sebelum membuat outlet, tanah yang ada di dalam digester harus dikeluarkan dahulu melalui menhol. Pembuatan outlet dilakukan di belakang menhol.
9. Pembuatan Penutup Outlet
Pembuatan penutup outlet dapat dilakukan di tanah yang rata sesuai ukuran. Pembuatan dilakukan dengan pemberian besi sebagai penguat, kemudian dicor. Penutup outlet berjumlah 3 buah, tujuannya untuk memudahkan ketika membuka.
10. Pembuatan Inlet
Pembuatan inlet difungsikan untuk mencampur kotoran dengan air, sehingga menghasilkan campuran dengan kandungan padat 8% - 10% sebelum dimasukkan ke dalam digester.
11. Pembuatan Slurry (Pembuangan)
Pembuatan slurry ini dilakukan untuk menyalurkan kotoran yang sudah siap untuk dijadikan pupuk organic dari biogas.
12. Pengecatan
Proses pengecatan dilakukan setelah proses pembuatan reactor selesai dikerjakan. Bagian yang dicat adalah kubah di dalam digester. Cat harus dicampur dengan semen supaya lebih kuat. Pengecatan ini difungsikan agar tidak ada kebocoran dalam digester.
Setelah reaktor biogas selesai di buat, reaktor akan diisi dengan kotoran sapi bali sejumlah ±1 ton pada pengisian pertama dan dicampur dengan air. Selanjutnya digester akan terus diisi dengan kotoran yang dicampur dengan air agar bakteri tetap bisa memproduksi gas yang optimal.
Keterangan :
1. Inlet / Mixer 5. Mainhole
2. Pipa Inlet 6. Outlet
3. Digester 7. Slurry
4. Penampung Gas 8. Pipa Gas Utama
Hasil
Dari riset yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa pembuatan reaktor biogas di kandang pemuliabiakan sapi bali ternyata dapat dijadaikan sebagai pengganti LGP di dapur ransum satwa (Gambar 2.). Dengan menggunakan kompor yang berasal dari biogas akan lebih aman, karena terhindar dari resiko meledaknya tabung gas LPG. Gas yang dihasilkan dari biogas lebih banyak, sehingga dapat dipergunakan yang lebih banyak pula.
Gas yang dihasilkan ini memiliki warna yang lebih biru. Warna api yang biru pada kompor biogas menunjukkan bahwa api yang dihasilkan cukup panas, sehingga membuat masakan lebih cepat matang. Warna nyala api ini hampir sama dengan warna api pada kompor gas LPG, sehingga jika kita ingin memasarkannya akan lebih mudah, karena kebanyakan pengguna selalu menginginkan nyala api pada kompor yang berwarna biru. Gambar nyala api dari biogas dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Dengan adanya biogas, Dapur ransum satwa bisa menghemat ± 3 tabung LPG berukuran 12 kg atau sekitar Rp. 405.000,- per bulannya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan Biogas di dapur ransum satwa cukup efektif dan bermanfaat. Sealain sebagai
Reaktor biogas yang berhasil dibuat dapat dijadikan sebagai percontohan bagi masyarakat sekitar untuk memanfaatkan limbah kotoran sapi menjadi biogas. Selain itu kotoran yang keluar dari lubang slurry dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Apabila dimanfaatkan dengan baik pupuk tersebut bisa menjadi nilai jual yang tinggi bagi TSI II.
Melalui Riset ini terbukti bahwa kotoran sapi bali jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan menjadi suatu bahan yang sangat berguna, yakni sebagai biogas. Dalam pembuatannya biogas berbahan dasar kotoran sapi bali dan dicampur dengan urine gajah. Maksud dari pencampuran dengan urine gajah ini bertujuan agar proses reaksi lebih cepat dan lebih sempurna. Karena seperti yang kita ketahui bahwa urine gajah mengandung amonia yang cukup tinggi. Dari hasil riset ini menunjukkan bahwa dengan adanya pencampuran urine gajah dapat mempercepat proses reaksi, yang semestinya api baru bisa menyala pada hari ke 5 – 7, ternyata dengan pencampuran ini dalam waktu 3 hari kompor sudah bisa menyala.
Dari sisi ekonomi, biogas ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Karena dari hasil yang ada menunjukkan bahwa, penghematan dengan menggunakan biogas ini cukup tinggi. Dapur ransum satwa bisa menghemat Rp. 405.000,- / bulan. Dari sisi ekonomi inilah yang dapat kita tonjolkan. Dengan modal awal sekitar Rp. 18.000.000,- dan bahan baku yang gratis (karena kita sudah punya). Ini hanya baru dapur ransum satwa saja, bukan tidak mungkin jika kita salurkan dan gunakan ke lokasi yang lain maka penghematan akan lebih besar lagi. Hal ini didukung pula dengan massa penggunaan biogas yang bisa dipergunakan sekitar 5- 10 tahun.
Dari sisi edukatif, adanya biogas ini tentunya akan lebih meningkatkan mutu dari TSI II itu sendiri yang merupakan wahana wisata berbasis edukasi. Dengan adanya biogas ini, diharapkan pengunjung (dalam hal ini yang berhubungan dengan edukasi) akan lebih tertarik untuk datang dan mempelajari tentang biogas yang ada di TSI II
Eko - Education SPV